Oleh: Rudiono
Data arus siswa dari Balitbang Diknas pada 2000 menunjukkan dari sekitar 26 juta anak usia 0-6 tahun, baru sekitar 7,5 juta (27%) yang terlayani berbagai satuan pendidikan prasekolah atau PADU. Anak usia 4-6 tahun yang total jumlahnya 12,6 juta masih sekitar 8 juta (63,4%) yang belum terlayani pendidikannya.
Di samping itu belum semua anak usia 7-15 tahun tertampung di SD/MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan SLTP/MTs (Madrasah Tsanawiyah). Untuk tingkat SD/MI (7-12 tahun) baru terlayani 24,4 juta dari 25,8 juta yang berarti ada 1,4 juta anak yang tidak bersekolah di SD/MI atau fasilitas yang ada baru mencakup 94,5% peserta didik.
Sedangkan usia SLTP/MTs (13-15 tahun) baru terlayani 7,29 juta dari 13,1 juta anak yang berarti ada 5,8 juta anak yang tidak sekolah atau cakupan peserta didik baru mencapai 55,7%. Jika melihat retensi kohor (waktu kelahiran sama), anak masuk SD yang langsung dapat melanjutkan sampai perguruan tinggi angkanya lebih rendah lagi.
Yaitu hanya 11,6% pada waktu yang seharusnya. Berarti sekitar 88,4% tertinggal di perjalanan dari jenjang pendidikan terendah, baik karena tinggal kelas, putus sekolah di berbagai jenjang selanjutnya maupun tidak melanjutkan lagi sekolahnya walaupun sudah lulus dari satu jenjang pendidikan.
Sementara itu masalah yang tak bisa diabaikan adalah rendahnya mutu hasil pendidikan. Penduduk buta huruf usia 10 tahun ke atas masih tinggi yaitu sekitar 18,7 juta orang (11%) dan usia 10-44 tahun tercatat 5,9 juta orang. Tingginya angka buta huruf karena masih terus terjadi siswa putus SD di kelas awal (1-3) yaitu 250.000-300.000 per tahun.
Rendahnya mutu hasil pendidikan ini tak berdiri sendiri melainkan tergantung mutu calon siswa sebagai masukan mentah (raw input) sistem pendidikan. Jika bicara kualitas siswa, maka calon siswa pada jenjang pendidikan terendah (SD/MI) adalah anak dini usia.
Masalahnya adalah bagaimana kesiapan bersekolah (school readiness) anak dini usia. Hal ini terlihat jelas pada hasil penelitian Balitbang Dinas Depdiknas pada 1999 yang mengindikasikan tingginya angka mengulang di kelas awal SD (13% di kelas I dan 9% kelas II) diduga karena lemahnya pembinaan anak pada masa dini usia. Dengan kata lain ada korelasi positif antara pendidikan prasekolah dan kesiapan anak memasuki sekolah.
Sedangkan data Depdiknas pada 2000 menyangkut jumlah anak usia 4-6 tahun yang tertampung di TK sekitar 1,6 juta (12%) sementara yang di RA sekitar 0,4 juta (5%). Ini berarti untuk jenjang TK/RA (Raudatul Atfhal) pun di Indonesia masih termasuk eksklusif karena baru dinikmati sebagian kecil masyarakat.
Meskipun Indonesia telah dapat menurunkan jumlah anak yang dilahirkan seorang wanita selama masa suburnya (TFR), dari rata-rata 5,6 anak pada tahun 1970, menjadi rata-rata 2,6 anak pada tahun 2003, yang menyebabkan laju pertumbuhan penduduk turun dari 2,3 persen per tahun menjadi 1,4 persen, namun karena jumlah penduduk Indonesia yang besar (219 juta) maka penduduk Indonesia setiap tahun akan bertambah sekitar 3 juta jiwa, sehingga BAPPENAS memproyeksikan pada tahun 2025 penduduk Indonesia akan bejumlah 273,6 juta jiwa (http://www.bkkbn.go.id/ ditfor/download.php?type =p&prgid=6).
Terlihat dengan jelas, bahwa kita ini tidak memiliki plot atau mapping SDM untuk jangka panjang. Strategi yang kita pakai masih dalam level responsif sesaat. Setiap gerakan kita mudah terbaca oleh negara tetangga kita seperti Malaysia atau Singapura. SDM bagi negara kita bukan merupakan aset yang harus di-kembangbiakkan, tetapi lebih merupakan beban yang harus dilepas pada suatu saatnya tiba. Banyak para SDM berpotensi yang sengaja dibikin tidak betah di dalam rumah sendiri sehingga akhirnya terpaksa memilih berkeliaran ke luar negeri. Secara makro, yang beruntung jelas negara lain, karena tanpa susah payah berhasil mendapatkan tenaga terampil. Tanpa melalui proses menanam dan memberi pupuk, tetapi langsung memetik buahnya (Prahoro Nurtjahyo, 2004).
Terkait dengan kondisi sumber daya manusia Indonesia yaitu adanya ketimpangan antara jumlah kesempatan kerja dan angkatan kerja. Pertama, Jumlah angkatan kerja nasional pada krisis ekonomi tahun pertama (1998) sekitar 92,73 juta orang, sementara jumlah kesempatan kerja yang ada hanya sekitar 87,67 juta orang dan ada sekitar 5,06 juta orang penganggur terbuka (open unemployment). Angka ini meningkat terus selama krisis ekonomi yang kini berjumlah sekitar 8 juta. Kedua, tingkat pendidikan angkatan kerja yang ada masih relatif rendah. Struktur pendidikan angkatan kerja Indonesia masih didominasi pendidikan dasar yaitu sekitar 63,2 %. Kedua masalah tersebut menunjukkan bahwa ada kelangkaan kesempatan kerja dan rendahnya kualitas angkatan kerja secara nasional di berbagai sektor ekonomi. Lesunya dunia usaha akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan sampai saat ini mengakibatkan rendahnya kesempatan kerja terutama bagi lulusan perguruan tinggi.
Sementara di sisi lain jumlah angkatan kerja lulusan perguruan tinggi terus meningkat. Sampai dengan tahun 2000 ada sekitar 2,3 juta angkatan kerja lulusan perguruan tinggi. Kesempatan kerja yang terbatas bagi lulusan perguruan tinggi ini menimbulkan dampak semakin banyak angka pengangguran sarjana di Indonesia.
Menurut catatan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) Depdiknas angka pengangguran sarjana di Indonesia lebih dari 300.000 orang.
Masalah SDM inilah yang menyebabkan proses pembangunan yang berjalan selama ini kurang didukung oleh produktivitas tenaga kerja yang memadai. Itu sebabnya keberhasilan pembangunan yang selama 32 tahun dibanggakan dengan tingkat pertumbuhan rata-rata 7%, hanya berasal dari pemanfaatan sumberdaya alam intensif (hutan, dan hasil tambang), arus modal asing berupa pinjaman dan investasi langsung. Dengan demikian, bukan berasal dari kemampuan manajerial dan produktivitas SDM yang tinggi. Keterpurukan ekonomi nasional yang berkepanjangan hingga kini merupakan bukti kegagalan pembangunan akibat dari rendahnya kualitas SDM.
apa solusinya???
ReplyDeleteperan semua lini sangat dibutuhkan, kalo dari dunia pendidikan.. kemampuan mental berwirausaha harus digencarkan.. agar muncul" anak" muda yang gemar berwira usaha dan dari kegiatan usaha Mikro itulah.. Insya Allah.. ekonomi Indonesia akan tumbuh, dan SDM bisa lebih digunakan secara maksimal
ReplyDelete